Daerah
Istimewa Yogyakarta keberadaannya dalam konteks historis dimulai dari sejarah
berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan Perjanjian Giyanti
1755. Berawal dari sini muncul suatu sistem pemerintahan yang teratur dan
kemudian berkembang, hingga akhirnya sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta yang
merupakan suatu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan pada tahun 1755 oleh Pangeran
Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I, sedangkan Kadipaten
Pakualaman didirikan pada tahun 1813 oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan
Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I.
Sejak berdirinya,baik Kasultanan maupun Kadipaten adalah
pemerintahan kerajaan yang diakui kedaulatannya. Pada masa kolonial Belanda,
pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta diatur kontrak politik yang dilakukan
pada tahun 1877, 1921, dan 1940, antara Sultan dengan Pemerintah Kolonial
Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa Keraton tidak tunduk begitu saja kepada
Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman sebagai kerajaan yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri yang dikenal dengan istilahzilfbesturende
landschappen. Kontrak politik terakhir Kasultanan Ngayogyakarta
tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak
politik Kadipaten Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.
Pada masa pendudukan Jepang, Yogyakarta diakui sebagai Daerah
Istimewa atau Kooti dengan Koo sebagai
kepalanya, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di bawah Kooti, secara
struktural ada wilayah-wilayah pemerintahan tertentu dengan para pejabatnya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI
bahwa Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten
Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang
dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengku Buwono
IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut dinyatakan dalam:
1. Piagam Kedudukan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945
dari Presiden RI;
2. Amanat Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September1945 (dibuat
secara terpisah);
3. Amanat Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober1945 (dibuat
dalam satu naskah).
Keunikan pengalaman Yogyakarta merupakan salah satu fakta yang
menjadikannya sebagai daerah istimewa. Dalam proses perkembangan
pemerintahannya, Yogyakarta berproses dari tipe pemerintahan feodal dan
tradisional menjadi suatu pemerintahan dengan struktur modern.
Dalam perkembangan dan dinamika negara bangsa terdapat
keterkaitan yang erat antara Republik Indonesia dan DIY. Entitas DIY mempunyai
aspek politis-yuridis berkaitan dengan sejarah berdirinya yang merupakan wujud
pengintegrasian diri dari sebuah kerajaan ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
respons atas eksistensi DIY dan juga merupakan pengakuan kewenangan untuk
menangani berbagai urusan dalam menjalankan pemerintahan serta urusan yang
bersifat khusus. Undang-Undang ini telah diubah dan ditambah, terakhir kali
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam
Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa DIY merupakan daerah setingkat provinsi
dan meliputi bekas Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah
Kadipaten Pakualaman. Pada setiap Undang-Undang yang mengatur Pemerintahan
Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui.
Dalam rangka perubahan dan penyesuaian serta penegasan
Keistimewaan DIY Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 13/2012
Tentang Keistimewaan DIY yang disahkan 31 Agustus 2012 dan diundangkan pada
tanggal 3 September 2012.
Pengaturan
Keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan
demokratis, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin
ke-bhineka-tunggal-ika-an, dan melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan
dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan
warisan budaya bangsa. Pengaturan tersebut berlandaskan atas pengakuan atas hak
asal-usul, kerakyatan, demokrasi, kebhineka-tunggal-ika-an efektivitas
pemerintahan, kepentingan nasional dan pendayagunaan kearifan lokal. Oleh
karenanya dengan memperhatikan aspek historis, sosiologis, dan yuridis
substansi Keistimewaan DIY diletakkan pada tingkatan pemerintah provinsi.
Kewenangan dalam urusan Kestimewaan seperti yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Pasal 7 ayat 2 meliputi : tata cara pengisian
jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang. Dengan demikian,
Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang meliputi kewenangan urusan
Keistimewaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 dan kewenangan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sesuai
dengan UU No 32 tahun 2004, maka posisi DIY sebagai daerah yang setara dengan
provinsi mengandung arti bahwa Gubernur merupakan Kepala Daerah Otonom dan
sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar